Sejarah Penggunaan Nama Palestina: Digunakan Romawi untuk Hina Bangsa Yahudi

share on:

Amal Cinta Al Aqsha – PALESTINA merupakan wilayah di Laut Tengah (Laut Mediterania) bagian timur, yang mencakup bagian dari wilayah Israel saat ini dan wilayah Palestina di Jalur Gaza (sepanjang pantai Laut Tengah) dan Tepi Barat (sebelah barat Sungai Yordan).

Wilayah geografis yang ditunjuk dengan nama itu maupun status politiknya telah berubah-ubah selama kurang lebih tiga milenium.

Walau nama Palestina secara tradisional telah lama digunakan secara populer, tetapi penggunaan itu tidak menyiratkan batas-batas wilayah yang jelast. Persepsi mengenai batas timur Palestina masih belum jelas, meskipun batas tersebut sering kali dianggap terletak di sebelah timur Sungai Yordan, dan kadang-kadang memanjang sampai ke tepi Gurun Arab.

Namun dalam pemahaman kontemporer, Palestina secara umum didefinisikan bahwa batas bagian timurnya adalah Sungai Yordan, di utara berbatasan dengan perbatasan antara Israel dan Lebanon, di barat berbatasan dengan Laut Mediterania (termasuk pantai Gaza), dan di selatan berbatasan dengan Negev, dengan perluasan paling selatan mencapai Teluk Aqaba.

Wilayah itu (atau setidaknya sebagian dari wilayah tersebut) juga dikenal sebagai Tanah Suci dan dianggap suci di kalangan orang Yahudi, Kristen, dan Muslim.

Sejak abad ke-20, wilayah itu telah menjadi obyek konflik gerakan nasional Yahudi dan Arab, dan konflik tersebut telah menyebabkan kekerasan yang berkepanjangan dan, dalam beberapa kejadian, peperangan terbuka.

Merujuk ke Bangsa Filistin

Palestina berasal dari kata Filistia (Philistia). Filistia merupakan nama yang diberikan para penulis Yunani untuk negeri orang-orang Filistin, yang pada abad ke-12 SM menempati sebidang kecil tanah di pantai selatan di wilayah itu, antara Tel Aviv–Yafo dan Gaza saat ini.

Dalam catatan-catatan kuno, seperti dalam kitab Taurat dan Perjanjian Lama, wilayah ini juga sering disebut sebagai “Tanah Kanaan”, yang dihuni berbagai suku sebelum era bangsa Israel.

Siapakah orang-orang Filistin? Bangsa Filistin tercatat dalam Kitab Taurat dan Perjanjian Lama sebagai musuh Israel.

Dalam Perjanjian Lama, Filistin dikenang sebagai bangsa yang tidak disunat, berteknologi canggih, kekuatan militernya tangguh. Mereka sering kali merambah wilayah Israel sehingga menyebabkan terjadinya beberapa pertempuran, termasuk bentrokan terkenal antara Daud, orang Israel, dan Goliat, orang Filistin.

Para ahli percaya, bangsa Filistin berlatar belakang Aegea yang kemudian bercampur dengan penduduk Kanaan. Mereka kemudian dikenal sebagai Peleset atau orang Filistin.

Berdasarkan laporan di kuil kamar mayat Ramses III di Medinet Habu, Mesir, pada abad ke-12 SM, pada masa pemerintahan Ramses III, sebuah konfederasi suku-suku dari ”pulau-pulau” di ”negara-negara utara” menyerang Mesir beberapa kali lewat laut dan maupun darat. Mereka diketahui memiliki kebudayaan yang maju dan sering kali dikaitkan dengan bangsa “Peleset”, salah satu dari “Bangsa Pelaut”.

Orang-orang Filistin tinggal di kota Asdod, Ashkelon, Ekron, Gath, dan Gaza — jantung Filistia kuno di pantai tenggara Laut Tengah. Ashdod, Ashkelon, Ekron, dan Gath telah digali untuk kepentingan arkeologis dalam beberapa dekade terakhir. Temuan dari kota-kota ini menunjukkan, orang Filistin memiliki tembikar, senjata, peralatan, dan rumah yang berbeda. Mereka memiliki jaringan perdagangan yang luas.

Kebudayaan Filistin berkembang pada Zaman Besi (abad ke-12 hingga keenam SM). Bangsa Filistin kehilangan otonomi atas wilayah itu menjelang akhir Zaman Besi. Nebukadnezar II menginvasi Filistia tahun 604 SM, membakar Ashkelon, dan memasukkan wilayah tersebut ke dalam Kekaisaran Neo-Babilonia. Filistia dan penduduk asli Filistin menghilang dari catatan sejarah setelah tahun itu. Nama filistia dan filistin tidak digunakan.

Digunakan untuk Melecehkan Bangsa Yahudi

Namun delapan abad kemudian, tepatnya pada abad kedua Masehi, saat wilayah itu sudah dikuasi Romawi, nama palestina dihidupkan lagi. Setelah beberapa pemberontakan Yahudi terhadap Romawi pada abad pertama dan kedua Masehi, Kaisar Hadrianus kesal. Dia lalu memutuskan untuk menghapus nama Yudea dari wilayah tersebut. Dia menggantinya dengan Syria Palaestina. Itu terjadi tahun 135 M. Perubahan itu sebagai bagian dari upaya meminimalisir identitas Yahudi dari wilayah tersebut (E. Mary Smallwood, “The Jews Under Roman Rule“, 1976).

Penggunaan nama Palestina itu sebagai bentuk pelecehan terhadap bangsa Yahudi. Nama Yudea tidak lagi dipakai. Nama yang justru digunakan adalah nama dari suku bangsa yang merupakan musuh bebuyutan mereka.

Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat, Bizantium (Romawi Timur) mempertahankan penggunaan nama Palestina untuk wilayah tersebut. Mereka memainkan peran penting dalam memelihara warisan budaya dan sejarah di Palestina.

Pada abad ke-7, Kekhalifahan Arab menduduki wilayah itu dan memperkenalkan Islam. Meskipun mereka tidak mengubah nama Palestina, mereka memberikan pengaruh signifikan pada budaya dan sejarah wilayah tersebut.

Pada abad ke-16, Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) mengambil alih Palestina dan menggantinya dengan nama “Filistin” dalam bahasa Arab. Selama pemerintahan Ottoman, nama Palestina kurang digunakan. Wilayah tersebut terbagi menjadi beberapa distrik yang dikelola secara terpisah.

Namun, adanya kepentingan strategis dan religius wilayah ini tetap membuatnya menjadi pusat perhatian, baik bagi penguasa Ottoman maupun bagi kekuatan-kekuatan Eropa yang mulai menunjukkan ketertarikan mereka. Meskipun demikian, konsep Palestina sebagai sebuah entitas teritorial bersejarah tetap hidup dalam kesadaran kolektif berbagai kelompok etnis dan agama yang tinggal di wilayah tersebut.

Saat Mandat Britania dan Pembentukan Israel

Setelah jatuhnya Kesultanan Ottoman, Britania Raya menduduki Palestina dan menggunakan nama Palestina dalam konsep negara Mandat Britania atas Palestina. Nama ini terus digunakan hingga proklamasi Negara Israel pada tahun 1948.

Dalam periode Mandat Britania, nama Palestina resmi digunakan dalam konteks administrasi dan politik. Pada masa ini, upaya-upaya untuk mendirikan sebuah “tanah air” bagi bangsa Yahudi sesuai dengan Deklarasi Balfour 1917, berjalan beriringan dengan keinginan penduduk Arab untuk merdeka.

Kebijakan-kebijakan Inggris sering kali menimbulkan ketegangan antarkomunitas, yang memuncak dalam kekerasan pada tahun-tahun menjelang berakhirnya mandat.

Tahun 1948 menjadi titik krusial dalam sejarah Palestina dengan deklarasi kemerdekaan Negara Israel, yang diakui oleh komunitas internasional tetapi menimbulkan perang dengan negara-negara Arab tetangga.

Benny Morris, dalam “1948: A History of the First Arab-Israeli War” (2008), menggambarkan bagaimana pembentukan Israel mengubah peta geopolitik dan demografi wilayah tersebut secara dramatis.

Bagi komunitas Yahudi, ini adalah pemenuhan hasrat berabad-abad untuk kembali ke tanah leluhur, sedangkan bagi penduduk Arab Palestina, ini adalah awal dari periode panjang perjuangan dan diaspora, yang berujung pada konflik yang berkepanjangan dan belum terselesaikan hingga saat ini.

Nama Palestina, sejak itu lekat dengan konflik dan aspirasi untuk pembentukan sebuah negara Palestina merdeka yang diakui secara internasional. (ArG)

Sumber: Kompas.com

share on: