Amal Cinta Al Aqsha – Pemerintah Rusia telah mengundang faksi-faksi Palestina—termasuk Palestinian Authority (PA) dan Hamas, untuk bertemu dan berembuk di Moskow pada Senin (26/2) mendatang. Pertemuan ini diharapkan dapat menghasilkan suatu konsensus menuju jalan damai di antara kedua faksi yang telah lama bersitegang itu.
Dikutip dari Reuters, pengumuman ini disampaikan Perdana Menteri PA, Mochammad Ibrahim Shtayyeh, saat berbicara dalam pertemuan Munich Security Conference di Jerman, pada Minggu (18/2). Ia menjelaskan, PA siap berunding dengan Hamas, selama kelompok militan tersebut memenuhi beberapa prasyarat.
“Rusia telah mengundang semua faksi Palestina yang akan bertemu pada tanggal 26 bulan ini di Moskow. Kami akan melihat apakah Hamas siap untuk turun ke lapangan bersama kami,” kata Shtayyeh.
“Kami siap untuk terlibat. Jika Hamas tidak, maka itu adalah cerita yang berbeda. Kami membutuhkan persatuan Palestina,” sambung dia.
Adapun Hamas selalu menyambut baik upaya rekonsiliasi Rusia. Hal ini dibuktikan dari banyaknya para pemimpin faksi-faksi Palestina termasuk Hamas yang sudah berulang kali mengunjungi Moskow.
Namun, hingga berita ini dirilis baik Hamas maupun Kremlin belum memberikan komentar lebih lanjut soal pengumuman Shtayyeh.
Hamas dan PA
Didirikan sebagai bagian dari Perjanjian Perdamaian Oslo 1993 antara Israel dan Palestine Liberation Organization (PLO) sekaligus langkah menuju pembentukan negara Palestina, PA adalah faksi politik yang didominasi kelompok militan Fatah.
Menurut Al Jazeera, Fatah adalah kekuatan pendorong PLO—sebuah organisasi lebih besar yang memayungi partai politik Palestina dan dibentuk pasca-peristiwa Nakba pertama pada 1948.
Namun, legitimasi PA di Tepi Barat beberapa tahun terakhir semakin tergerus akibat pembangunan permukiman ilegal zionis Israel, yang kini disebut sebagai Tepi Barat yang diduduki.
Laporan media Barat menyebut, banyak orang Palestina menganggap PA—yang sejak 2005 dipimpin oleh Shtayyeh sebagai perdana menteri dan Mahmoud Abbas sebagai presiden—korup, tidak demokratis, dan tidak lagi relevan terhadap perjuangan mereka
Hamas dan PA gagal mengakhiri perselisihan soal daerah kekuasaan mereka sejak 2007. Hamas dan kelompok militan Palestinian Islamic Jihad (PIJ) yang lebih kecil menuntut untuk bergabung dengan PLO, tetapi PLO harus direformasi.
Sebab, Hamas dan PIJ menolak untuk mengakui Israel sebagai negara atau mematuhi komitmen PLO atas Perjanjian Perdamaian Oslo 1993.
Di tengah pertempuran Hamas dan Israel, Shtayyeh menyatakan siap untuk berembuk sekaligus membicarakan jalan damai pembentukan negara Palestina berdaulat.
“Palestina sudah siap. Kami memiliki institusi dan kemampuan, namun masalah serius kami adalah kami berada di bawah pendudukan,” ujar Shtayyeh.
“Kami berada di bawah penjajahan Israel dan kami ingin pendudukan itu berakhir,” sambung dia.
Shtayyeh menambahkan, bagaimanapun—terlepas dari ketegangan yang ada, ia memandang Hamas adalah bagian tak terpisahkan dari arena politik Palestina.
“Agar Hamas dapat menjadi anggota PLO, harus ada prasyarat yang harus diterima Hamas—wadah politik PLO, pemahaman tentang masalah perlawanan dan kami menyerukan perlawanan rakyat, bukan yang lain,” jelas Shtayyeh.
Namun, Shtayyeh mengaku hingga saat ini belum ada pembicaraan antara PA dengan Hamas. “Mereka harus masuk ke dalam agenda politik kami. Posisi kami sangat jelas. Dua negara di perbatasan tahun 1967, melalui cara-cara damai. Orang-orang Palestina harus berada di bawah satu payung,” tegasnya.
Komentar Shtayyeh seolah menjawab kekhawatiran negara-negara Barat yang ingin melihat struktur PA direvitalisasi dan menyatukan pemerintahannya dengan Hamas di Jalur Gaza. “Kami membutuhkan PA yang direformasi karena saat ini Hamas memiliki terlalu banyak legitimasi di mata Palestina,” kata Menteri Luar Negeri Kanada, Melanie Joly, dalam kesempatan itu.
“Kita perlu menawarkan kepada mereka generasi baru pemimpin muda Palestina yang akan duduk di meja perundingan untuk menciptakan negara ini,” tegas dia. (ArG)
Sumber: Kumparannews