Amal Cinta Al Aqsha – Puluhan warga Gaza menunaikan ibadah salat di reruntuhan masjid yang hancur akibat serangan Israel. Senin (11/3) merupakan hari pertama Ramadan di Gaza.
Ramadan tahun ini berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya. Mayoritas warga Gaza tidak bisa puasa di rumah, tapi di pengungsian. Sebab, hampir seluruh wilayah Gaza rata dengan tanah karena operasi militer Zionis.
Kondisi diperparah dengan korban jiwa yang pada Senin pekan ini sudah menembus 31 ribu jiwa. Mayoritas korban jiwa adalah warga sipil, utamanya perempuan dan anak-anak.
Kondisi mencekam itu membuat hanya sekelompok orang salat di reruntuhan masjid. Banyak di antara warga yang mencari anggota keluarganya.
“Saya berharap pesawat-pesawat itu mengebom saya dan saya mati,” kata Zaki Hussein Abu Mansur, warga Gaza yang rumahnya hancur karena kebrutalan Israel, seperti dikutip dari AFP.
“Lebih baik mati dibanding hidup seperti ini. Terkadang kami lihat apa yang kami butuhkan di pasar, tapi kami tak bisa membelinya,” sambung dia.
Ucapan Zaki mengenai pasar terkait dengan kelaparan lantaran sedikitnya bahan makanan di pasar-pasar Gaza. Itu disebabkan pembatasan masuknya bantuan ke wilayah tersebut.
“Kami bahkan tidak bisa membeli sayur, cuma bisa buah-buahan,” ucap warga Gaza lainnya, Maisa al-Balbissi, yang sekarang tinggal di kamp pengungsi Rafah.
Menurut data PBB, dari 2,2 juta penduduk Gaza, sebanyak 1,5 juta orang di antaranya mengungsi di Rafah. PBB mengakui sebagian besar tidak bisa mengakses makanan.
Kelaparan adalah satu dari banyak masalah di Gaza saat Ramadan. Warga Gaza tidak bisa ibadah di dalam masjid akibat pemboman Israel, mereka terpaksa salat di tengah reruntuhan.
Pada Minggu (10/3) atau satu sehari sebelum Ramadan, muslim salat Magrib di sekitar Masjid Al-Hadi yang sudah hancur.
“Awal Ramadan diselimuti oleh kesedihan di dalam kegelapan, dengan bau darah dan busuk di mana-mana. Ketika saya bangun saya menangis melihat situasi ini,” kata warga Gaza, Awni al-Kayyal. (ArG)
Sumber: Kumparannews