ACA – Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan, pihaknya melancarkan serangan ke Jalur Gaza pada Selasa (2/5/2023), setelah gerilyawan di sana menembakkan roket ke Israel.
Lusinan roket ditembakkan dari Jalur Gaza pada hari Selasa hingga Rabu (3/5) dini hari, setelah mantan juru bicara Jihad Islam Khader Adnan meninggal di penjara Israel pasca mogok makan yang berkepanjangan.
Merespons rangkaian serangan tersebut, IDF mengatakan bahwa jet tempurnya menyerang pos militer, gudang senjata, tempat pembuatan senjata, dan fasilitas pelatihan milik Hamas bersama dengan tempat pembuatan semen yang digunakan oleh kelompok tersebut untuk memelihara infrastrukturnya.
“Serangan itu dilakukan sebagai tanggapan atas peluncuran roket dari Jalur Gaza ke wilayah Israel hari ini, serangan ini secara signifikan merusak dan mencegah kemampuan organisasi teroris Hamas di Jalur Gaza mendapat senjata,” kata IDF seperti dilansir CNN, Rabu.
IDF menambahkan bahwa militer Israel akan meminta pertanggungjawaban Hamas atas semua kegiatan teror yang berasal dari Jalur Gaza.
Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh telah menghubungi Mesir dan Qatar tentang serangan itu.
Dalam pernyataannya pada Rabu pagi, Hamas mengatakan, “Haniyeh menganggap pendudukan bertanggung jawab atas konsekuensi melanjutkan agresi brutal ini.”
Sejauh ini tidak dilaporkan adanya korban akibat serangan Israel.
Khader Adnan, meninggal di penjara Israel setelah mogok makan selama 87 hari. Kabar tersebut diumumkan oleh otoritas penjara Israel.
Layanan penjara Israel mengatakan, Adnan didakwa dengan keterlibatan dalam kegiatan teroris. Dia ditemukan tidak sadarkan di selnya pada Selasa pagi dan dipindahkan ke rumah sakit tempat dia kemudian dinyatakan meninggal.
Adnan telah melakukan lima aksi mogok makan sejak tahun 2004, termasuk mogok 55 hari pada tahun 2015 untuk memprotes penangkapannya di bawah apa yang disebut penahanan administratif, di mana tersangka ditahan tanpa batas waktu tanpa dakwaan atau persidangan.
Menurut Asosiasi Tahanan Palestina, Adnan telah ditahan oleh Israel sebanyak 12 kali. Dia menghabiskan sekitar delapan tahun di penjara, sebagian besar di bawah penahanan administratif.
Menurut kelompok HAM Israel HaMoked, Israel saat ini menahan lebih dari 1.000 tahanan Palestina tanpa dakwaan atau pengadilan. Itu merupakan jumlah tertinggi sejak tahun 2003.
Israel mengatakan, taktik penahanan kontroversial itu membantu pihak berwenang menggagalkan serangan dan menahan militan berbahaya tanpa membocorkan materi yang memberatkan demi alasan keamanan.
Sementara itu, Palestina dan kelompok-kelompok hak asasi menggarisbawahi bahwa sistem itu disalahgunakan secara luas dan menolak proses hukum, dengan sifat rahasia dari bukti yang membuat tahanan administratif atau pengacara mereka tidak mungkin mengajukan pembelaan.