Hubungan Israel-Mesir Memburuk Setelah Israel Duduki Perbatasan Rafah

share on:

Amal Cinta Al Aqsha – KEPUTUSAN Israel menyerang Rafah mengancam masa depan hubungannya dengan Mesir. Hubungan keduanya berantakan setelah Israel memasuki wilayah perbatasan Rafah yang dikuasai Hamas antara Gaza dan Mesir pada 6 Mei 2024.

Dalam sebuah foto yang viral, tampak seorang tentara Israel mengibarkan bendera Israel di dekat perbatasan tersebut. Sejak saat itu, Mesir menutup semua sisi perbatasannya dan menyatakan akan membiarkannya tertutup selama pasukan Israel masih berada di wilayah Gaza.

Mesir juga menyatakan tak akan lagi bekerja sama dengan Israel untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan. Mesir hanya akan membuka pintu penyeberangannya lagi jika Palestina kembali mengontrol sisi Rafah yang dahulu merupakan miliknya.

Akibatnya, ribuan truk yang penuh dengan bantuan kemanusiaan kini hanya bisa terparkir di dekat perbatasan sisi Mesir. Padahal, sebanyak 2,3 juta orang di Gaza saat ini sedang berada dalam ancaman bencana kelaparan dan sangat membutuhkan bantuan itu.

Di sisi lain, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berkeras bahwa tindakannya ini sangatlah penting. Menurutnya, menguasai perbatasan itu merupakan sebuah “langkah penting menuju penghancuran kemampuan militer dan pemerintahan Hamas.”

Mesir Marah dan Frustasi

Sejak awal operasi militer Israel di Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Mesir selalu bersikap hormat dan kooperatif dengan segala persyaratan Israel terkait pemeriksaan pengiriman bantuan kemanusiaan yang melalui perbatasan Rafah menuju Gaza. Dengan begitu, pihak Mesir berharap mereka diperlakukan dengan hormat oleh Israel.

Tak seperti yang diharapkan, Israel justru melangkahi Mesir dengan mengambil alih perbatasan Rafah sisi Hamas tanpa memberi tahu Mesir sebelumnya. Menurut intelijen Mesir, Israel baru menginformasikan Kairo terkait operasi tersebut beberapa jam sebelumnya.

Mesir sangat kecewa dengan Israel. Mereka menilai Israel telah gagal menepati janjinya untuk tidak melibatkan perbatasan bersama Rafah dalam konfliknya dengan Hamas di Gaza.

“Mesir mengutuk keras pendudukan perbatasan,” kata Simon Wolfgang Fuchs, profesor di Universitas Ibrani Yerusalem kepada DW. “Reaksi Mesir saat ini didorong oleh kemarahan dan frustasi.”

Israel dan Mesir pernah terlibat konflik sekitar puluhan tahun yang lalu, tepatnya pada masa-masa perang Arab-Israel. Meski begitu, Mohamed Anwar Sadat, keponakan presiden Mesir yang ikut serta dalam diskusi Kesepakatan Camp David yang menghasilkan perjanjian perdamaian Mesir-Israel tahun 1979, mengatakan bahwa konflik Israel dengan Mesir kali ini merupakan krisis terburuk yang pernah terjadi sepanjang sejarah kedua negara tersebut.

Ia mengatakan bahwa kini terdapat “kurangnya kepercayaan” serta kecurigaan di antara kedua belah pihak.

“Mesir jelas menganggap konsentrasi pasukan Israel di perbatasan sebagai potensi masalah keamanan jangka panjang,” kata Nathan Brown, profesor ilmu politik dan hubungan internasional di Universitas George Washington di Washington.

Dia menjelaskan kepada DW bahwa selama hampir setengah abad, “Kesepakatan Camp David antara Mesir dan Israel dan perjanjian damai berikutnya telah membatasi penempatan militer Mesir di Sinai, di utara Mesir dekat perbatasannya dengan Gaza dan Israel.

Kini, kondisi tersebut mungkin saja berubah karena sebuah sumber yang belum dikonfirmasi mengatakan bahwa Mesir baru-baru ini mulai mengerahkan pasukan dan peralatannya ke Sinai.

Takut Orang-orang Palestina Berpindah ke Mesir

Para pengamat berpendapat, rusaknya hubungan Israel-Mesir pasca masuknya Israel ke penyeberangan perbatasan Rafah merupakan akibat dari adanya ketakutan akan terjadinya perpindahan besar-besaran (eksodus) warga Palestina ke Mesir.

Presiden Mesir, Abdel Fattah el-Sissi sudah berkali-kali memperingatkan bahwa ini akan menjadi ‘garis merah” dan bahwa negaranya tidak akan menerima warga Palestina yang melarikan diri dari Gaza, terlepas dari banyaknya penduduk Mesir yang mendukung Palestina.

Sejauh ini, konflik di Gaza telah menewaskan lebih dari 35.000 orang. Di bulan April, sekitar 1,6 juta orang Gaza telah mencari perlindungan di Rafah setelah diinstruksikan oleh militer Israel untuk melarikan diri ke wilayah lain.

Namun bulan ini, para pengungsi di Rafah diminta untuk meninggalkan kota itu kembali. Akibatnya, sekitar 600.000 berpindah ke kota Khan Younis.

“Evakuasi warga yang diperintahkan Israel ke ‘zona kemanusiaan’ baru telah mengesampingkan kekhawatiran Mesir akan eksodus untuk saat ini,” kata Fuchs.

“Tetapi tentu saja, Mesir tahu bahwa hal ini tidak berarti bahaya telah dapat dihindari, dan jika situasi kemanusiaan terus menjadi dramatis dan sulit seperti sekarang, penyerbuan ke perbatasan mungkin akan segera terjadi.”

Mesir Menunjukkan Ketidaksukaannya dengan Aksi Israel

“Mesir ingin mengomunikasikan kepada Israel dengan sangat jelas bahwa mereka tidak ingin dianggap remeh,” kata Brown sembari menjelaskan bahwa selama beberapa minggu terakhir telah tampak makin jelas bagaimana Mesir mulai memprioritaskan kepentingannya sendiri.

“Kekhawatiran Kairo yaitu bahwa perang antara Israel dan Hamas akan menciptakan masalah bagi Mesir,” tambah Brown. Pemerintah Mesir yang selama ini berupaya mempertahankan hubungan baik dengan Hamas dan Israel kini berkata akan mempertimbangkan kembali perannya sebagai mediator dalam upaya pembebasan sandera Israel oleh Hamas serta gencatan senjata di Gaza.

Pemerintah Mesir juga mempertimbangkan untuk menarik duta besar Mesir di Tel Aviv, menurut laporan The Wall Street Journal.

Mesir terus mempertegas kekecewaannya dengan memutuskan untuk bergabung dalam kasus genosida Mahkamah Internasional (ICJ) Afrika Selatan terhadap Israel.

“Bergabung dengan kasus ICJ ini telah menunjukkan ketidaksenangan secara langsung dan bahkan mendalam terhadap kepemimpinan Israel,” kata Brown.

Walau begitu, Timothy E Kaldas, wakil direktur Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah yang berbasis di Washington berpendapat bahwa Mesir tidak akan memutus hubungan secara total dengan Israel.

“Mesir punya banyak cara lain untuk mengomunikasikan ketidaksenangan tanpa harus sampai pada titik membatalkan perjanjian damai dengan Israel,” katanya.

Para pengamat berpendapat, mempertahankan perjanjian perdamaian dengan Israel merupakan hal yang sangat penting. Tanpa itu, hubungan perdagangan bilateral antar kedua negara akan sulit berkembang. Terlebih lagi, Mesir juga sangat bergantung pada impor minyak dari Israel. Mesir juga pasti tidak mau mengambil resiko terkait dukungan militer dari Amerika Serikat (AS) yang amat sangat mereka perlukan. (ArG)

Sumber: Kompas.com

share on: