Amal Cinta Al Aqsha – Aksi milisi perlawanan Lebanon, Hizbullah menyerang teritorial dan infrastruktur Israel, menjadi teror menakutkan bagi pemukim Yahudi di perbatasan Utara kedua negara.
Ketakutan itu semakin menjadi karena para pemukim Israel menganggap para petugas keamanan maupun militer Israel (IDF) belum menemukan cara untuk menghentikan serangan dan dampak bencana yang ditimbulkan aksi Hizbullah tersebut.
Dampaknya, mengutip laporan The Wall Street Journal pada Sabtu (30/12/2023), jumlah warga Israel yang mengungsi dari wilayah pendudukan utara akibat serangan Hizbullah telah melampaui 230.000 pemukim,
Media Israel awal pekan ini melaporkan, ketakutan meningkat di kalangan pemukim Israel di wilayah utara Hizbullah di Lebanon terus melakukan operasi penyerangan setiap hari tanpa ada tanda-tanda kalau mereka terlindungi oleh aksi apa pun yang dilakukan IDF.
Pencegahan Saja Tidak Cukup
Selama lebih dari 80 hari, warga Israel di pemukiman di utara dilaporkan WSJ berada dalam kegelisahan yang mencekam.
“Mereka (warga pemukim Israel di Utara) mengantisipasi perang yang akan segera terjadi,” lapor outlet tersebut.
Warga pemukim Israel disebut takut terjadi perang karena mereka memahami besarnya risiko yang ditimbulkannya, terutama setelah menyaksikan operasi Banjir Al-Aqsa yang dilancarkan kelompok milisi Perlawanan Palestina di Gaza.
Channel 13 melaporkan pada Jumat lalu kalau warga Israel di Utara sedang mengalami gangguan mental karena “dampaknya tidak terbatas pada situasi keamanan namun juga mencakup situasi psikologis dan ekonomi.”
Menurut WSJ, operasi Hamas 7 Oktober bertajuk Banjir Al Aqsa telah membuktikan kalau pencegahan “saja tidak cukup,”.
Perang terbuka lintas perbatasan, tulis laporan, sejauh ini belum terjadi karena kedua belah pihak menyadari risiko hancur-hancuran bagi keduanya saat konflik terbuka pecah.
“Dan hal ini juga berlaku pada pemahaman lama kalau skenario saling menghancurkan telah menghalangi perang baru antara entitas pendudukan Israel dan Hizbullah Lebanon,” tulis laporan tersbeut.
Endus Gelagat Banjir Al Aqsa II
Di sisi lain, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan pejabat tinggi pemerintahannya telah berulang kali memperingatkan Israel agar tidak memperluas perang dengan Hizbullah.
Biden khawatir kalau Israel tidak akan mampu menangani kedua front dengan berperang melawan milisi Lebanon sementara tengah bertempur melawan milisi pembebasan Palestina di Gaza.
Dalam laporan sebelumnya, WSJ melaporkan kalau pejabat tinggi militer dan keamanan di Israel sejatinya bernafsu untuk melancarkan serangan “pencegahan” terhadap Lebanon dan Hizbullah, hanya beberapa hari setelah dimulainya operasi Perlawanan Gaza.
Namun, Biden secara pribadi turun tangan untuk menghentikan sekutu terdekat AS tersebut. Biden mengambil langkah ini karena takut akan meluas menjadi perang regional.
Di sisi lain, Biden juga merasa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu enggan dan memiliki pandangan yang sama untuk tidak meladeni Hizbullah. Namun Israel rupanya tetap ngotot menggempur Hizbullah di Lebanon.
Secara rinci, saat itu Israel kemudian mengumumkan kalau mereka memiliki informasi yang “kredibel” kalau Hizbullah merencanakan serangan lintas batas serupa Operasi Banjir Al Aqsa Hamas.
Tokoh militer dan intelijen AS terkemuka, termasuk Direktur CIA William Burns dan Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, kemudian segera menggelar pertemuan penting untuk membahas pernyataan Israel.
Setelah rapat tersebut, Washington menyimpulkan kalau mereka tidak akan mendukung tindakan berisiko tersebut, karena tidak sejalan dengan informasi intelijen mereka sendiri. (ArG)
Sumber: Tribunnews.com