Amal Cinta Al Aqsha – Kini, perpecahan politik Israel kembali terlihat di depan publik. Ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan untuk menggulingkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Minggu (31/3/2024) malam.
Slogan-slogan yang lama menuntut pengunduran diri Netanyahu dan pemilihan umum dini diperkuat dengan slogan-slogan baru.
Slogan itu juga menyerukan kesepakatan segera untuk membebaskan sekitar 130 sandera Israel yang masih ditahan di Gaza.
Dikutip dari BBC pada Senin (1/4/2024), ketakutan terbesar keluarga dan teman-teman mereka, serta para pengunjuk rasa ialah jatuhnya banyak korban jiwa jika perang berkepanjangan tanpa kesepakatan.
Pada Minggu malam, ketika ribuan orang memadati jalan raya di sekitar parlemen Israel, Katia Amorza yang memiliki seorang putra yang bertugas di tentara Israel di Gaza meletakkan megaphonenya sejenak.
“Sejak jam delapan pagi ini, saya di sini. Dan sekarang saya memberi tahu Netanyahu bahwa saya akan dengan senang hati membayar tiket sekali jalan, kelas satu, agar dia bisa keluar dan tidak kembali lagi,” kata dia.
Seorang pemuka Yahudi, Yehudah Glick, mengkampanyekan doa Yahudi di wilayah yang oleh orang Israel disebut Temple Mount, lokasi masjid tersuci ketiga Islam di Yerusalem, Al Aqsa.
Rabbi Glick mengatakan para pengunjuk rasa lupa bahwa musuh sebenarnya adalah Hamas, bukan Perdana Menteri Netanyahu.
“Saya pikir dia sangat populer. Dan itulah yang membuat orang-orang ini kesal. Saya pikir orang-orang ini, tidak mau memaafkan kenyataan bahwa begitu lama mereka telah melakukan demonstrasi menentang dia dan dia masih berkuasa,” terangnya.
“Dan saya menyerukan kepada mereka untuk berdemonstrasi, datang dan berdemonstrasi, berbicara dengan lantang dan jelas apa yang mereka rasakan, namun berhati-hati agar tidak melewati batas antara demokrasi dan anarki,” harap dia.
Para pengunjuk rasa, dan pengkritik Netanyahu di negara-negara yang mendukung Israel, percaya bahwa musuh demokrasi sudah ada di pemerintahannya, sebuah koalisi yang bergantung pada dukungan partai-partai ultranasionalis Yahudi.
Salah satu anggota parlemen Hamas, Ohad Tal, mengatakan “naif” jika percaya bahwa tekanan militer yang lebih besar terhadap Hamas akan membebaskan para sandera.
“Anda tidak berpikir Hamas akan dengan mudah mengembalikan para sandera dalam sebuah perjanjian. Ini tidak sesederhana itu,” ujarnya.
PM Netanyahu pernah berkata bahwa dialah satu-satunya yang bisa menjaga keamanan negaranya. Banyak orang Israel mempercayainya.
Dia juga mengatakan bahwa dia bisa mengatur rakyat Palestina, menempatkan orang-orang Yahudi di tanah yang diduduki yang mereka inginkan untuk sebuah negara.
Tanpa menawarkan konsesi dan melakukan pengorbanan yang diperlukan untuk kesepakatan damai.
Tetapi semua itu berubah pada 7 Oktober tahun lalu ketika Hamas menyerbu kawat perbatasan.
Banyak warga Israel menganggap dia bertanggung jawab atas kelemahan keamanan yang memungkinkan Hamas menyerang Israel dengan dampak yang sangat menghancurkan.
Berbeda dengan kepala keamanannya, yang dengan cepat mengeluarkan pernyataan yang mengakui bahwa mereka telah melakukan kesalahan, namun PM Netanyahu tidak pernah mengakui tanggung jawab apa pun. (ArG)
Sumber: Kompas.com