Amal Cinta Al Aqsha – Gerakan boikot terhadap produk yang mendukung Israel semakin merebak. Gerakan boikot ini menorehkan dampak signifikan pada sejumlah perusahaan yang terkait dengan negara tersebut.
Serangan Israel yang intens di Palestina memicu gelombang protes global, dan gerakan boikot menjadi respons utama dari masyarakat internasional.
Meskipun belum ada laporan resmi terkini mengenai nilai kerugian yang diakibatkan oleh gerakan ini, laporan Al Jazeera pada tahun 2018 mengungkap potensi kerugian fantastis bagi Israel, mencapai US$11,5 miliar per tahun atau sekitar Rp180,48 triliun.
Keberhasilan gerakan boikot ini menjadikan Israel yang didukung merasa terancam. Sehingga, ini memicu respons diplomatik yang intens, terutama dari Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Penanganan Diplomatik dan Rasa Khawatir Israel
Israel, dalam upayanya untuk mengatasi dampak gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS), mengutamakan misi diplomatik. Bahkan, Benjamin Netanyahu mengambil langkah ekstrem dengan melarang kelompok-kelompok yang mendukung gerakan boikot.
Langkah ini diambil dengan alasan melindungi ribuan pekerja Israel yang dapat kehilangan pekerjaan jika boikot internasional benar-benar terlaksana.
Meskipun Israel menolak bahwa gerakan boikot dapat merugikan mereka secara signifikan, mereka masih berusaha menutupi jika gerakan boikot itu berdampak pada Israel.
Namun, argumen ini disanggah oleh Brookings Institution, organisasi non-profit di AS. (ArG)
Sumber: Unews